Jang Harus Dibabat dan harus Dibangun
Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Bintang Timur (Lentera), 12
Oktober
1962
PERDJALANAN JANG LAMBAT DARI
SASTRA INDONESIA
Tidak bisa dikatakan, bahwa Indonesia tak punja tradisi sastra jang pandjang dan sangat tua. Sastra daerah jang begitu berkembang, terutama di Djawa, Sunda, Bali dan Sulawesi Selatan-Tengah, Atjeh, Minang, Lampung dts. sebenarnja telah dapat dikatakan djaminan dari adanja basis jg baik bagi kehidupan sastra modern. Dari tradisional ke arah modern memang terdapat berier histori jang tebal jang melingkupi pandangan dunia, sikap, volume aindex pengetahuan, resonansi hubungan internasional, penggarapan atas pengaruh2 pada generasi2 sesudahnja. Karena itu adalah tdk benar, bila tradisi hanja bersifat mengulang dan memamah biak jg sudah ada serta membajangkan perkembangan jg modern. Perdjalanan sastra modern Indonesia semestinja tidak lambat. Tapi mengapa lambat?
MENENGOK KE LUAR BARANG SEDJENAK
Negeri2 Asia lainnja djauh lebih madju daripada Indonesia pada masa2 sebelum perang dunia ke-II. India telah dimahkotai hadiah Nobel karena tjerpen2 Tagore. Singapura dan Malaja serta Vietnam (ingat sadja pd Pierre Do-Dinh), tapi di masa sebelum Perang Dunia II itu, Indonesia baru menjumbangkan HIKAJAT KANTJIL, surat2 Kartini, dan karja Multatuli jang notabene adalah pengarang Belanda. MENGAPA?
Apakah sebab semua ini?
Mula2 sekali dapat dinjatakan di sini, karena perkembangan
ilmu pengetahuan
sebelum perang dunia-II tidak menggembirakan di Indonesia. Penemuan2 keilmuan dapat dihitung dengan
djari2
tangan dan kaki, sedang
penemuan2 jang dilakukan oleh bangsa
Indonesia malah bisa dihitung dengan djari2 sebelah tangan. Dalam pada
itu kosmopolitisme meradjarela di kalangan kamu intelektual, sehingga ketjintaan dan watak
kebudajaan sendiri serta raut2nya menjadi mendatar. Pendalaman2 jang bersungguh2 atas
man[s]alah2 nasional tidak berkembang, achirnja pun
ketjinta[a]n dan pengetahuan tentang ma[n]usia Indonesia (djadi
termasuk kondisi, posisi, situasinja) djadi
mendatar pula. Gerakan kebudajaan "Budi Utomo"
pada permulaan abad ini tidak bisa dikatakan telah diselesaikan dengan baik, terutama setelah "budi
Utomo"
melakukan lompatan ke arah kepartaian dan mentjoba mendampingi "Sarekat Islam" serta "Indische Partij" tanpa
mengurangi djasa2nja bagi
sedjarah.
Terutama kos[mo]politisme jang tak terlawankan pada waktu itu, dan tidak begitu
disadarinja
akan bahajanja pada
masa2 djauh kemudian hari, telah banjak mendjerumuskan
kaum intelektual Indonesia dalam tjara pengurangan-barat. Sedang kebangunan negeri2
Asia lainnja jang
sangat sedikit diperkenalkan di Indonesia sebagai akibat dari politik pemberitaan Hindia
Belanda, menjebabkan
kaum intelektual Indonesia kehilangan sesuatu
jang sangat dibutuhkannja, jakni: bahan perbandingan. Tidaklah mengherankan apabila Kartini pernah menjatakan keheranannja, bahwa wanita berwanapun (maksudnja
Pandita Ramabai) boleh dan
dapat madju.
Politik pengadjaran
Hindia jang terang2an mengsabat kemadjuan bangsa
Indonesia dapat dikatakan biangkeladi timbulnja dari semut faktor tsb. sedang kaum feodal sebagai penguasa kedua di Hindia, dan berkompromi tanpa malu dengan Belanda. Telah berhasil
dalam kurun jang sangat pandjang menikmati kemadjuan sebagai haknja, lebih dari golongan dan manapun dalam masjarakat. Maka watak penguasa,
dan watak komprominja dengan
pendjadjah pun membikin kaum intelektualnja sedemikian
rupa,
tidak
mempeladjari wudjut dari masjarakatnja sendiri.
Maka djuga sastra Indonesia jg lahir di
masa itu praktis tidak dibatja oleh kaum intelektual jg karena kosmopolitismenja lebih suka
membatja lektur asing. (Nasib sastra Indonesia pada waktu itu hampir dapat disamakan dengan nasib film Indonesia dewasa
ini). Dengan demikian sastra
Indonesia merupakan konsumsi bagi pembatja jang nisbiah kurang mempunjai persiapan dan aspresiasi. Sebuah polemik tnt karja
MARCO
berdjudul MATA GELAP jang menggelumbang hampir keseluruh pers di Djawa
pada tahun 1914 membukakan pada kita satu pintu buat menindjau pedalaman sastra pada waktu itu, jang tak
dapat dikatakan menjenangkan,
di bandingkan dengan jang telah ditjapai oleh
India ataupun Tiongkok.
Satu kalimat di antara sekian banjak polemik jang
menuduh MARCO merasa berkepala besar seakan sudah sebesar
MULTATULI merupakan satu titik pula jg memberikan kemungkinan pada kita untuk
menilai kader kosmopolitisme pd masa itu.
TANPA SEDJARAH SULIT
Dalam keadaan di mana fakta2 tidak menarik perhatian, amatlah muskil utk bisa mengharapkan lahirnja penjusunan fakta itu sendiri, mempeladjari perkembangannja, menjusun sedjarahnja, dan merumuskan filsafat-sedajrahnja. Sedang tanpa adanja sedjarah ini, perkembangan sastra untuk selandjutnja merupakan perdjalanan di dalam kegelapan. Orang tak melihat titik tudjuan. Sekalipun sedjarah sastra Indonesia sampai dewasa ini baru berumur lk. 62 tahun, suatu perdjalanan jang tak dapat dikatakan pandjang, namun, terlalu sedikit jang telah diketahui umum tnt sedjarah sastra itu sendiri. Dan sedikitnja pengetahuan sedjarah ini djuga jang menjebabkan untuk sekian lama Balai Pustaka, badan penerbitan pemerintah djadjahan jg bertugas untuk mengimbangi satra perlawanan, bisa dianggap sebagai titik tolak sedjarah sastra modern Indonesia. Dari sini pula kita dapat memahami mengapa dalam masa gentingnja nasib revolusi bisa terdjadi seorang tjerpena mengumumkan tjerpennja tnt sang tikus jang menggerogoti bukunja, dan seorang kritikus menelaah serta memudji tjerpen tsb. (1949). Pun kita bisa mengerti mengapa banjak peminat sastra, sastrawan dan kritikus menolak unsur politik memasuki gelanggang sastra. Tidak mengherankan karena titik tolak sastra Indonesia jang sedjak tahun 1901 begitu militan menentang dan melaan pendjadjahan itu, tidak dilihatnja dalam kegelapan itu.
KETIDAKDJELASAN SEDJARAH DAN NILAI KRITIK:
Ketidakdjelasan sedjarah menjebabkan nilai kritik sastra pun mendjadi tidak djelas, karena tidak mempunjai pegangan, dan dengan sendirinja djuga ukuran tentang apa sebenarnja jang sudah terdjadi djauh sebelum itu. Sedang pada pihak lain pun meragukan kemampuannja untuk melihat perspektif dan hari depan sastra Indonesia.
Dalam situasi demikian, mau tak mau kita terpaksa terima setiap kritik sastra dengan reserve, karena kritik sastra jg mungkin telah diambil umum sebagai ukuran untuk masa kini, bila dimasukkan dalam vorm sedjarah sastra itu sendiri bisa tjuma sementara sadja maknanja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar