Pramoedya
Jang Harus Dibabat dan
Harus Dibangun
Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Bintang Timur (Lentera), 7
September 1962
Ada segolongan pengarang muda jang
berpendapat bahwa dalam mengeritik sastra, orang tak boleh mengeritik pengarangnja. Sebenarnja, orang dapat menerima saran ini, sekiranja
masjarakat dan manusia Indonesia adalah masjarakat dan manusia jang telah mendapatkan bentuknja, djadi bukan dalam periode transisi jang sedang membentuk dan
membangun diri. Dalam periode ini sastra bukan hanja
meneruskan jang sudah ada, djuga
sebagaimana halnja dengan masjarakat
dan manusianja, sedang membentuk dan
membangun diri. Tugas sastra sangat
penting peranannja dalam masa ini. Karena itu djuga
setiap
pengarang jang tugasnja
adalah mempengaruhi djalannja pembentukan dan pembangunan diri itu harus djelas, karena bila pengarang
itu seorang gelandangan
tanpa tujuan, seorang nabi dari adjaran jang terkenal
dengan nama "filsafat iseng"
mau tak mau
karjanja akan meninggalkan kotoran2 hitam dalam proses pembentukan dan pembangunan diri jang dalam djaman modern ini harus berdjalan serba tjepat, efisien dan selamat untuk dapat
segera setaraf bahkan melampaui negara2 jang sudah lama menikmati kemerdekaan
nasional.
Ada seorang pengarang remadja jang pernah melontarkan tanja: "Mengapa pengarang jang satu mesti gulingkan pengarang lain? Bukankah dua2nja djuga tjari duit?" Dengan mudah orang dapat menangkap bangun dan wudjud tanggapan pengarang remadja ini atau fungsi sastra sebagai sumber penghasilan doang, ia belum tahu, mungkin djuga tidak mau tahu tentang fungsi sosialnja dan lebih tidak tahu lagi tentang sedjarah sastra Indonesia itu sendiri, jang setjara tradisional berdjuang melawan penindasan, kezaliman, baik di luar maupun dalam rangka imperialisme kolonialisme. Pertanjaan itu kemudiannja: "kalau hendak menandingi madjalah X terbitkanlah madjalah jang lebih baik dari X. Kalau hendak menandingi pengarang Z terbitkanlah karja2 jang lebih baik dari karja pengarang Z." Nasihat ini tidak baik bila dikatakan pada siswa, mahasiswa, guru atau mahaguru jang tjuma tahu sastra itu dari djurusan bentuk, teknik gajabasa, idea2 dan tjara pengungkapan, pendeknja dari segi ketukangannja. Tapi, baik guru maupun murid sastra dengan predikat atau tidak, paling mula harus mengetahui, bahwa setiap sobek kertas jang digunakan dalam penerbitan, adalah dibeli dengan devisen jang dihasilkan oleh keringat buruh dan tani jang notabene sudah kekurangan kemakmuran! Adalah munafik bila hasil keringat jang terlalu mahal diperas dari massa besar pekerdja itu tjuma dipergunakan buat mentjetak keisengan perseorangan jang diberi prepetensi dan predikat "sastra." Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterdjemahkan tugas sastra ini pada tahun2 Revolusi Agustus dari karja Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karja Sartre ini kemudian pun ditjetak pula di dalam madjalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banjak lagi disangsikan orang. Pada awal tahun 1950-an sastra banjak kala dianggap sebagai tudjuan, sebagai mantra, suatu anggapan jang menjalahi realita.
Ada djuga seorang
pengarang
muda jang
baru
marak
namanja
pada
hari2 belakangan ini berpendapat, bahwa kritik sastra
harus dibatasi pada
masalah sastra, tidak
boleh keluar dari batas sastra. Pendapat sematjam ini sesungguhnja jang beberapa
tahun jang lalu ikut
membisingkan persoalan
tentang
PASTERNAK
dalam pers Indonesia. Mereka pada ramai2 mengutuk US jang "menindas kebebasan sastra," tapi sama sekali
tidak bitjara tentang fitnah DOKTER ZHIVAGO terhadap
Revolusi Oktober. Mereka tidak pernah bitjara, bahwa Nobel buat PASTERNAK adalah hadiah buat fitnah jang
terindah
oleh politik, oleh tata tertib, sastra boleh berchianat asalkan dia bernilai sastra. Sastra hidup
di dalam segala matjam kejakinan. Tapi jang mana jang sastra, kalau sastra itu harus punja tugas? Dan tugas jang mana? Jang menentang atau jang membantu Rakjat, ataukah jang tak perduli pada Rakjat, tapi dalam pada itu hidup dari keringat Rakjat. Maka,
kalau dalam alam Manipol, tidak lain dari BUNG KARNO sendiri jang
mengatakan bahwa apabila "Rakjat marah kepada saja, marahilah saja, saja akan tundukkan
kepala," maka benar2
suatu
keanehan
bila sastra di alam
Indonesia
jang sedang membangun diri
ini bisa benarkan hidupnja sastra di dalam segala matjam kejakinan, baik kejakinan jang merusak maupun
jang
membangun. Tragedi
sastra
sematjam ini
ada
di
Indonesia
dan
sedang bermain dengan meriahnja. Malah dengan mudah orang dapat
menjediakan timbangan buat mengkilonja mungkin djuga
dengan sebuah baskule
bila penerbitan pada umumnja jang
harus ditimbang. Bila di bidang
ini
pada tahun 1953 GAJUS SIAGIAN pernah menulis
PENERBITAN
MEDAN dalam sebuah
madjalah Belanda terbitan Amsterdam, jakni
Medan sebagai sumber-penerbitan-tanpa-tugas kini kita dapat kemukakan 2
matjam pernerbit di Djawa ini jang luarbiasa aktifnja. Analisa dan Inmajorita. Dengan tjatatan,
bahwa Inmajorita jang dibangun
untuk membendung Manipol tidak ketahuan di mana alamatnja.
Mengapa ada pengarang-muda berpendapat bahwa kritik sastra harus bisa dibatasi pada masalah sastra? Tidak susah untuk dapat memahaminja. Pertama karena aktivita reaksioner jang bersumberkan djiwa reaksioner dengan demikian tidak mudah dikontrol dan didjeladjah dan dengan demikian pula boleh memperpandjang keamanan dirinja. Kedua karena pengadjaran sastra masih menderita kebolongan, terutama dibidang filsafah- sosialnja. Memang berat untuk menjadari bahwa pengadjaran sastra ternjata tidak punja batas, karena hidup itu sendiri jang djadi landasan sastra memang tidak berbatas, lebih luas dari laut dan langit, dan lebih dalam daripada samudra atau djurang.
Apabila falsafah-sosial telah umum dalam sistem
pengadjaran kita, pastilah sudah,
bahwa setiap peladjar apalagi pengarang, akan mengerti dengan sendirinja, bahwa sastra
hanjalah bangunan atas jang tergantung pada
basisnja, jakni kehidupan sosial, kamunal
ataupun individual. Sastra sebagai bangunan
atas akan bergerak bila basis bergerak, dia
akan mendjulang
bila basis mendjulang,
dan
demikian seterusnja. Lihatlah
bangunan
atasnja sadja! Djangan lihat basisnja! Mengapa orang dapat mengatakan demikian? Karena basisnja, basis individual patut mendapat perlindungan dari koreksi dan penghakiman
mungkin djuga penghukuman.
Demikianlah, meremehkan kehidupan satra adalah djuga
meremehkan adanja kekuatan jang
harus dihidupkan dalam alam pembentukan dan pembangunan diri ini.
Meremehkan ini
bukan sadja berarti menghambat perkembangan
ke arah tertjiptanja
masjarakat adil dan makmur di bidang spiritual, djuga melakukan
penghamburan devisen
jang dihasilkan oleh djerih pajah
Rakjat. Meremehkan ini adalah djuga laku
tidak mendidik masarakat dan Rakjat itu
sendiri.
Di dalam alam Manipol sastra Indonesia harus
berani bebaskan matjam kritik jang menilai sastra tjuma dari perfeksi
ketukangannja. Kritik sastra Indonesia
dalam
alam
Manipol, harus bisa memaafkan kekurangan2 jang terdapat di dalam ketukangan,
bahkan harus mengisi kelemahannja, tapi basis politik, basis ideologi sama sekali tidak boleh
meleset. Basis sastra Indonesia adalah masjarakat dan manusia Indonesia jang sedang berkelahi dan berdjuang memenangkan keadilan dan kemakmuran. Itulah basis jang benar. Jang di luar itu adalah kuriosita atau keanehan
belaka. Memang ada
segolongan orang jang
menilai sastra dari keanehannja, dari ketidak-samaannja dengan jang umum. Tapi bila jang demikian djadi ukuran, atau salah satu ukuran, objek2 penulisan sangat mudah didapatkan di
rumahsakit2 gila.