Kamis, 29 Oktober 2020

Kritik Sastra Menurut Pramoedya

 Pramoedya

Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun

Oleh: Pramoedya Ananta Toer

Bintang Timur (Lentera), 7 September 1962

 

Ada segolongan pengarang muda jang berpendapat bahwa dalam mengeritik sastra, orang tak boleh mengeritik pengarangnja. Sebenarnja, orang dapat menerima saran ini, sekiranja masjarakat dan manusia Indonesia adalah masjarakat dan manusia jang telah mendapatkan bentuknja, djadi bukan dalam periode transisi jang sedang membentuk dan membangun diri. Dalam periode ini sastra bukan hanja meneruskan jang sudah ada, djuga sebagaimana halnja dengan masjarakat dan manusianja, sedang membentuk dan membangun diri. Tugas sastra sangat penting peranannja dalam masa ini. Karena itu djuga setiap pengarang jang tugasnja adalah mempengaruhi djalannja pembentukan dan pembangunan diri itu harus djelas, karena bila pengarang itu seorang gelandangan tanpa tujuan, seorang nabi dari adjaran jang terkenal dengan nama "filsafat iseng" mau tak mau karjanja akan meninggalkan kotoran2 hitam dalam proses pembentukan dan pembangunan diri jang dalam djaman modern ini harus berdjalan serba tjepat, efisien dan selamat untuk dapat segera setaraf bahkan melampaui negara2 jang sudah lama menikmati kemerdekaan nasional.

Ada seorang pengarang remadja jang pernah melontarkan tanja: "Mengapa pengarang jang satu mesti gulingkan pengarang lain? Bukankah dua2nja djuga tjari duit?" Dengan mudah orang dapat menangkap bangun dan wudjud tanggapan pengarang remadja ini atau fungsi sastra sebagai sumber penghasilan doang, ia belum tahu, mungkin djuga tidak mau tahu tentang fungsi sosialnja dan lebih tidak tahu lagi tentang sedjarah sastra Indonesia itu sendiri, jang setjara tradisional berdjuang melawan penindasan, kezaliman, baik di luar maupun dalam rangka imperialisme kolonialisme. Pertanjaan itu kemudiannja: "kalau hendak menandingi madjalah X terbitkanlah madjalah jang lebih baik dari X. Kalau hendak menandingi pengarang Z terbitkanlah karja2 jang lebih baik dari karja pengarang Z." Nasihat ini tidak baik bila dikatakan pada siswa, mahasiswa, guru atau mahaguru jang tjuma tahu sastra itu dari djurusan bentuk, teknik gajabasa, idea2 dan tjara pengungkapan, pendeknja dari segi ketukangannja. Tapi, baik guru maupun murid sastra dengan predikat atau tidak, paling mula harus mengetahui, bahwa setiap sobek kertas jang digunakan dalam penerbitan, adalah dibeli dengan devisen jang dihasilkan oleh keringat buruh dan tani jang notabene sudah kekurangan kemakmuran! Adalah munafik bila hasil keringat jang terlalu mahal diperas dari massa besar pekerdja itu tjuma dipergunakan buat mentjetak keisengan perseorangan jang diberi prepetensi dan predikat "sastra." Sastra adalah bertugas. H. B. Jassin sendiri pernah merasa perlu menterdjemahkan tugas sastra ini pada tahun2 Revolusi Agustus dari karja Sartre, dalam "Mimbar Indonesia" sedang karja Sartre ini kemudian pun ditjetak pula di dalam madjalah "Indonesia" (1949). Bahwa sastra memikul tugas, kini tak banjak  lagi  disangsikan  orang.  Pada  awal  tahun  1950-an  sastra  banjak  kala  dianggap sebagai tudjuan, sebagai mantra, suatu anggapan jang menjalahi realita.

Ada  djuga  seorang  pengarang  muda  jang  baru  marak  namanja  pada  hari2 belakangan ini berpendapat, bahwa kritik sastra harus dibatasi pada masalah sastra, tidak boleh keluar dari batas sastra. Pendapat sematjam ini sesungguhnja jang beberapa tahun jang  lalu  ikut  membisingkan  persoalan  tentang  PASTERNAK  dalam  pers  Indonesia. Mereka pada ramai2 mengutuk US jang "menindas kebebasan sastra," tapi sama sekali tidak bitjara tentang fitnah DOKTER ZHIVAGO terhadap Revolusi Oktober. Mereka tidak pernah bitjara, bahwa Nobel buat PASTERNAK adalah hadiah buat fitnah jang terindah oleh politik, oleh tata tertib, sastra boleh berchianat asalkan dia bernilai sastra. Sastra hidup di dalam segala matjam kejakinan. Tapi jang mana jang sastra, kalau sastra itu harus punja tugas? Dan tugas jang mana? Jang menentang atau jang membantu Rakjat, ataukah jang tak perduli pada Rakjat, tapi dalam pada itu hidup dari keringat Rakjat. Maka, kalau dalam alam Manipol, tidak lain dari BUNG KARNO sendiri jang mengatakan bahwa apabila "Rakjat marah kepada saja, marahilah saja, saja akan tundukkan kepala," maka benar2 suatu  keanehan  bila  sastra  di  alam  Indonesia  jang  sedang  membangun  diri  ini  bisa benarkan hidupnja sastra di dalam segala matjam kejakinan, baik kejakinan jang merusak maupun  jang  membangun.  Tragedi  sastra  sematjam  ini  ada  di  Indonesia  dan  sedang bermain dengan meriahnja. Malah dengan mudah orang dapat menjediakan timbangan buat mengkilonja mungkin djuga dengan sebuah baskule bila penerbitan pada umumnja jang harus ditimbang. Bila di bidang ini pada tahun 1953 GAJUS SIAGIAN pernah menulis PENERBITAN  MEDAN  dalam  sebuah  madjalah  Belanda  terbitan  Amsterdam,  jakni Medan sebagai sumber-penerbitan-tanpa-tugas kini kita dapat kemukakan 2 matjam pernerbit di Djawa ini jang luarbiasa aktifnja. Analisa dan Inmajorita. Dengan tjatatan, bahwa Inmajorita jang dibangun untuk membendung Manipol tidak ketahuan di mana alamatnja.

Mengapa ada pengarang-muda berpendapat bahwa kritik sastra harus bisa dibatasi pada masalah  sastra? Tidak  susah untuk dapat memahaminja.  Pertama  karena aktivita reaksioner jang bersumberkan djiwa reaksioner dengan demikian tidak mudah dikontrol dan  didjeladjah  dan  dengan  demikian  pula  boleh  memperpandjang  keamanan  dirinja. Kedua karena pengadjaran sastra masih menderita kebolongan, terutama dibidang filsafah- sosialnja. Memang berat untuk menjadari bahwa pengadjaran sastra ternjata tidak punja batas, karena hidup itu sendiri jang djadi landasan sastra memang tidak berbatas, lebih luas dari laut dan langit, dan lebih dalam daripada samudra atau djurang.

Apabila falsafah-sosial telah umum dalam sistem pengadjaran kita, pastilah sudah, bahwa setiap peladjar apalagi pengarang, akan mengerti dengan sendirinja, bahwa sastra hanjalah bangunan atas jang tergantung pada basisnja, jakni kehidupan sosial, kamunal ataupun individual. Sastra sebagai bangunan atas akan bergerak bila basis bergerak, dia akan  mendjulang  bila  basis  mendjulang,  dan  demikian  seterusnja.  Lihatlah  bangunan atasnja sadja! Djangan lihat basisnja! Mengapa orang dapat mengatakan demikian? Karena basisnja, basis individual patut mendapat perlindungan dari koreksi dan penghakiman mungkin djuga penghukuman.

Demikianlah, meremehkan kehidupan satra adalah djuga meremehkan adanja kekuatan jang harus dihidupkan dalam alam pembentukan dan pembangunan diri ini. Meremehkan ini bukan sadja berarti menghambat perkembangan ke arah tertjiptanja masjarakat adil dan makmur di bidang spiritual, djuga melakukan penghamburan devisen jang dihasilkan oleh djerih pajah Rakjat. Meremehkan ini adalah djuga laku tidak mendidik masarakat dan Rakjat itu sendiri.

Di dalam alam Manipol sastra Indonesia harus berani bebaskan matjam kritik jang menilai sastra tjuma dari perfeksi ketukangannja. Kritik sastra Indonesia dalam alam Manipol, harus bisa memaafkan kekurangan2 jang terdapat di dalam ketukangan, bahkan harus mengisi kelemahannja, tapi basis politik, basis ideologi sama sekali tidak boleh meleset.  Basis sastra Indonesia adalah masjarakat dan manusia  Indonesia jang sedang berkelahi dan berdjuang memenangkan keadilan dan kemakmuran. Itulah basis jang benar. Jang di luar itu adalah kuriosita atau keanehan belaka. Memang ada segolongan orang jang menilai sastra dari keanehannja, dari ketidak-samaannja dengan jang umum. Tapi bila jang demikian djadi ukuran, atau salah satu ukuran, objek2 penulisan sangat mudah didapatkan di rumahsakit2 gila.