Pramoedya
Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun
Pramoedya Ananta Toer
Bintang Timur (Lentera), 1 September
Apakah sebabnja Takdir bisa
punja sikap dan pandangan sedemikian negatif
terhadap Revolusi 45 jang agung itu? Tidaklah sulit untuk menemukan sumbernja. Sudah
sejak aktivita-budaja-nja
jang pertama-tama, ia mengimpi dan berangan, berillusi tnt kemadjuan Indonesia jang tjepat, jang
deras. Hanja peradaban
dan kebudajaan Barat sadja
mampu mempolai kemadjuan ini. Tak ada jang bisa mengatakan, bahwa impian, angan2
dan illusinja djahat, sebaliknja – sesuatu kewadjaran sadja bagi seorang mendeburkan darah patriotisme dlm dirinja. Apabila ia melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau
kurang adanja kesungguhan pdnja untuk melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan
pdnja untuk mengenal realita dari bangsanja
sendiri plus
kehidupannja. Ia seorang idealis jang menutup mata terhadap realita jang
hidup, karena impiannja terlalu keras, terlalu indah, sedangkan
kenjataan terlalu pahit, dangkal, lamban, dan
serba mendjengkelkan. Langkah
pemikiran selandjutnja bukan lagi suatu kekeliruan,
tapi suatu kesalahan, karena ia
hendak membangunkan impian dgn djalan meniadakan dan memunggungi realita itu sendiri dan karena kekagumannja pd Barat ia terimalah Barat itu sebagai ukur segala jang hidup pd bangsanja. Rekonstruksi
membangunkan kuburan, sedangkan tjandi Prambanan diketjamnja sbg urgensi adalah membangunkan
jang djustru
hidup sekarang ini. Nampaknja
ketjamannja
ini
revolusioner, kalau orang melupakan kenjataan lain, bahwa Takdir pulalah
jang menjatakan bahwa penamaan "terjerambut"
(atau ontworteld)
baginja merupakan
pujian! Takdir pulalah jang dg
gagah2an mempelopori gerakan "guntungputus" dg
masalampana [- lampaunja?].
Waktu revolusi mentjapai tarafnja jang panas, ia djustru pergi ke Nederland untuk menghadiri Kongres Filsafat (1945) sehingga djabatannja sebagai mahaguru di UI dibekukan. Dan tindakannja ini disamakan dengan tindakan Dr. Sumitro, sewaktu ikut menghadiri Kongres Havana sebagai pena sihat delegasi Belanda, djuga ini terdjadi pada tahun panas2nja Revolusi.
Gugatan jang tertudju padanja mejebabkan Takdir dlm madjalah "Pembangunan," 1947, berusaha membersihkan dirinja dengan bergajutan pada R.A. Kartini jang terus menerus dihormati, baik didjaman pendjajahan Belanda, Djepang, maupun semasa Revolusi itu, pdhal, bukankah Kartini mengandjurkan kerdja sama antara Pribumi dengan Belanda?
Dan djustru gajutan ini mendjelaskan pada
kita, bahwa Takdir tak banjak mengerti
tentang perdjuangan
kemerdekaan jang sedjak permulaan abad ini melulu kreteria dan
taraf2nja.
Madjalah "Pembangunan" tidak pernah mempunjai otorita, sehingga suaranja pun
padam tanpa meninggalkan gaung. Dan sedjak Kongres Filsafat tsb praktis ia semakin
lama semakin dekat
pada golongan ko, golongan penchianat semasa Revolusi
itu, malah
dimasa pemerintahan federal
di Djakarta, perusahaannja
mendapat kemadjuan tjepat dan
melompat.
Revolusi jang digerakkan oleh Rakjat, oleh kenjataan jg hidup, mengakibatkan
terdjadinja desilusi pdnja, karena Revolusi merupakan guru jang
lebih baik bagi kehidupan ini daripada mahaguru jang
manapun djuga. Takdir jang mempunjai gaja-penulisan jang polemis, tetap dapat mempertahan gajanja ini, hanja
nadanja di masa Revolusi 45 dan sesudahnja terdengar
mineur. Setelah pemulihan kedaulatan, ia njatakan desilusinja
ini
dlm artikel "Buku dan Ketjerdasan Rakjat dalam Bahaja" jang dimuat dlm madjalah "Siasat" IV/171/18 Djuni 1950. Diantaranja ia menulis:
"...Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan rakjat 70 juta ini akan makanan, pakaian, dan perumahan. Sebab kemakmuran dalam arti jang sebenarnja pada hakekatnja ialah akibat sesuatu pertumbuhan sikap hidup, kegiatan dan kepandaian berusaha dari dalam rakjat sendiri, baik sebagai suatu satuan, maupun sebagai individu."
Kutipan ini, jang merupakan pentjetakan atas pidatonja dalam malam pertemuan jang diselenggarakan oleh penerbit kebangsaan "Pustaka Rakjat" di Hotel des Indes memperlihatkan dengan djelas segi pemikiran Takdir jang tidak menguasai persoalan politik, (waktu itu RI baru 1/2 tahun berdaulat!) dan mentjoba menutupi kelemahannja dengan ekonomi sebagai seorang pengusaha jang sedang merasa terantjam perusahaannja karena kebidjaksanaan pembagian kertas jang pada waktu itu sedang dilaksanakan oleh pemerintah.
Kesalahan politik nampak dari pandangannja jang
tidak djelas terhadap Rakjat jang
sepandjang abad merupakan unit ekonomi jang
terus-menerus
menghasilkan kemakmuran. Rakjatlah penghasil kemakmuran. Kemakmuran tidak datang dari sikap hidup jang
manapun. Tapi apakah kemakmuran itu kembali lagi kepada
Rakjat jang menghasilkannja,
ini
adalah politik bukan lagi ekonomi apa pula sikap hidup! Sedang
sudah setjara apriori
Takdir mengetok palu-hakimnja, bahwa
Pemerintah sekarang
tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan Rakjat.
Sudah dari nadanja orang dapat dengarkan
suatu sinisme jang lahir dari desilusi. Tapi
desilusi ini
tidak mampu mengadjari Takdir untuk mulai beladjar melihat dan memahami realita.
Bagi mereka jang menganggap sastra hanjalah sastra, tidak lebih dan tidak kurang, tentu akan bertanja: apakah hubungannja semua ini dengan sastra? Djawabnja atas pertanjaan ini adalah djawaban atas faktor2 kedjiwaan apakah jg menguasai seorang pengarang, serta bagaimana kondisi kedjiwaannja, karena sebuah pabrik jang didirikan dengan sjarat2 tertentu untuk menghasilkan tahu, tentulah ia djadi pabrik tahu, terketjuali bila sjarat2 itu diubah, berubah, sehingga djadi pabrik bom. Itu pula pentingnja dimulai tradisi untuk menempatkan karja sastra sebagai bahan gubal, dan bukan mantra karena tindjauan dan penilaian teknik semata, untuk sampai pada wudjut sebagai manusia pengarang dan dengan demikian untuk mendapatkan faham jang lebih tepat tentang manusia Indonesia sebenarnja. Sedang saran ini sama sekali tidak menjalahi Takdir jang sendiri menghendaki dan mempraktekkan seni bertendens, artinja seni jang memikul tugas, paling sedikit tugas sosial.
Pada alinea lain kita dapatkan kutipan jang sebenarnja suatu kekatjauan jg telah mentjampuradukkan masalah kebudajaan dan perdagangan:
"Apabila kami mengemukakan ini, hal itu bukan sekali2 untuk mengeluarkan kritik, bukan djuga oleh karena kami takut Pustaka Rakjat tidak akan dapat mendjalankan usahanja lagi. Kami hanja bermaksud sepintas lalu menundjukkan, bahwa buku dan bersama dengan itu ketjerdasan rakjat dalam bahasa."
Pendeknja, pandangan kultural Takdir setelah 1950, atau setelah kedaulatan tidak lagi ditangan Belanda setelah perusahaannja tidak mendapatkan pesanan2 langsung dari Departemen van Onderwijs [dan] Eredienst pemerintah Federal, merupakan kekatjauan jang tjampurbaur antara soal2 perdagangan dan ilusi2 kultural ini berkembang semakin menjata sampai pada th 1953 dalam simposion sastra Indonesia di Amsterdam.
Takdir sebagai budajawan, sudah sedjak
mudanja menjindir, mengemplang dan mentjoba menggiling apa sadja jang serba tradisional terutama adat nenek mojangnja sendiri,
tanpa keinginan ataupun
kemauan baik untuk memahami latarbelakang dan fungsi historiknja.
Demikianlah, maka kondisi kedjiwaan setiap pengarang, dalam usaha mendapatkan
pengertian jang sehat tentang sastra dari bangsa jang sedang membangun dan membentuk
diri sebagai bangsa
Indonesia dewasa
ini
sangat penting untuk ditelaah setjara
terbuka.
Segi2 positif Takdir dalam perdjuangan kebudajaan di masa sebelum Perang
Dunia
II ternjata disusul dengan tjepatnja oleh perkembangan dari segi2nja jang negatif, hanja
karena ia seorang idealis jang memunggungi kenjataan hidup sudah sedjak mulanja.
Perkembangan ini semakin tragic sewaktu terdjadi apa jang
lazim dinamai dengan "pergolakan daerah," suatu istilah jang sebenarnja berisikan motif2 politik jang sakitan.
Dalam
persiapan2 untuk
meletuskan "pergolakan daerah," golongan2 anti-revolusionar jang djuga mendapat dukungan
dari para sardjana idealis jang
memunggungi kenjataan
(misalnja pernjataan2 dukungan
"dengan pertimbangan
ilmiah"
dari para mahaguru Universita Andalas pada PRRI)
mentjoba menarik kekuatan dari dukungan
golongan adat,
seperti jang telah dilangsungkan Palembang pada bulan Djanuari 1957. Kongres Adat ini
didalangi oleh Dewan Garuda jang
menelorkan putusan2 jang oleh sementara pers jang
masih dapat menghormati Revolusi, persatuan dan kesatuan nasional, diketjam sebagai
bersifat
feodal dan kontra-revolusionar. Bahkan persiapan mentjetuskan "pergolakan daerah" ini dirasa sebagai bahaja bagi negara Indonesia. Angkatan muda jang tergabung dalam puluhan organisasi setjara terburu2
menjiarkan siaran kilat berisikan 5 pasal jang berseru
agar seluruh pemuda dan Rakjat tetap waspada dan tetap memelihara persatuan Bangsa dan Keutuhan Negara.
Seruan
itu ditudjukan pada semua kekuatan
anti- separatisme dikalangan masarakat. Selandjutnja diharapkan kepada barisan pemuda agar
tjukup
bidjaksana, tjakep untuk mengatasi tiap2 politik adudomba jang bermaksud
mentjegah persatuan. Dan ini adalah tindaklaku para pemuda. Sebaliknja golongan tua,
termasuk Takdir dan Hazairin, sebagai
tokoh2 penting dalam Kongres
Adat Sumsel itu,
telah menundjukkan bahwa kesardjanaan mereka ternjata tjuma keahlian teknis semata.
Para pemuda itu membuktikan pula, bahwa jg mula harus benar dan tepat adalah politik.
Bila politiknja tidak benar, maka kesardjanaan hanja ketukangan
jang tidak bertudjuan.
Sebagai bukti ketukangan
tanpa politik jang
benar ini Takdir kemudian menerbitkan
pidatonja dalam Kongres Adat
Sumsel berdjudul
Perdjuangan Untuk Otonomi dan
Kedudukan Adat Didalamnja, (Pustaka Rakjat 1957). Dan risalah ini merupakan titik
penghabisan bagi kegiatan
kebudajaan Takdir jang masih mempunjai sumbangan bagi kebudajaan
Indonesia.
Memang
setelah itu
ia masih
ikut buka
mulut dalam diskusi
"Batjaan Tjabul"
OPI, tapi
hal itu
tidak mampu
memperbaiki
posisinja
di dalam pembicaran [?] kebudajaan apalagi sastra Indonesia.
Tokoh seangkatan Takdir jang djuga berkembang setjara
tragik adalah Tatengkeng
dari Indonesia Timur
jang pada tarafnja jang terachir menggabungkan
diri
dengan Permesta. Kedua2nja
dapat disamakan dengan tokoh Gregori Melechov dalam
roman Sjolokov And Quiet Flows the Don,
seorang tokoh perang jang hebat dalam revolusi
bolsjewik, jang karena tidak punja ketegasan dilapangan politik achirnja mondar mandir tidak karuan ke berbagai pihak, dan achirnja lenjap sebagai sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar