Rabu, 28 Oktober 2020

Pramoedya: Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun (2)

Pramoedya

 Jang Harus Dibabat dan Harus Dibangun

Pramoedya Ananta Toer

Bintang Timur (Lentera), 1 September

 

Apakah sebabnja Takdir bisa punja sikap dan pandangan sedemikian negatif terhadap Revolusi 45 jang agung itu? Tidaklah sulit untuk menemukan sumbernja. Sudah sejak aktivita-budaja-nja jang pertama-tama, ia mengimpi dan berangan, berillusi tnt kemadjuan Indonesia jang tjepat, jang deras. Hanja peradaban dan kebudajaan Barat sadja mampu mempolai kemadjuan ini. Tak ada jang bisa mengatakan, bahwa impian, angan2 dan illusinja djahat, sebaliknja sesuatu kewadjaran sadja bagi seorang mendeburkan darah patriotisme dlm dirinja. Apabila ia melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk melakukan kekeliruan, maka ini ialah tidak atau kurang adanja kesungguhan pdnja untuk mengenal realita dari bangsanja sendiri plus kehidupannja. Ia seorang idealis jang menutup mata terhadap realita jang hidup, karena impiannja terlalu keras, terlalu indah, sedangkan kenjataan terlalu pahit, dangkal, lamban, dan serba mendjengkelkan. Langkah pemikiran selandjutnja bukan lagi suatu kekeliruan, tapi suatu kesalahan, karena ia hendak membangunkan impian dgn djalan meniadakan dan memunggungi realita itu sendiri dan karena kekagumannja pd Barat ia terimalah Barat itu sebagai ukur segala jang hidup pd bangsanja. Rekonstruksi membangunkan kuburan, sedangkan tjandi Prambanan diketjamnja sbg urgensi adalah membangunkan jang djustru hidup sekarang ini. Nampaknja ketjamannja ini revolusioner, kalau orang melupakan kenjataan  lain, bahwa Takdir pulalah  jang menjatakan  bahwa penamaan  "terjerambut" (atau   ontworteld)   baginja   merupakan   pujian!   Takdi pulalah   jang   dg   gagah2an mempelopori gerakan "guntungputus" dg masalampana [- lampaunja?].

Waktu revolusi mentjapai tarafnja jang panas, ia djustru pergi ke Nederland untuk menghadiri Kongres Filsafat (1945) sehingga djabatannja sebagai mahaguru di UI dibekukan. Dan tindakannja ini disamakan dengan tindakan Dr. Sumitro, sewaktu ikut menghadiri Kongres Havana sebagai pena sihat delegasi Belanda, djuga ini terdjadi pada tahun panas2nja Revolusi.

Gugatan jang tertudju padanja mejebabkan Takdir dlm madjalah "Pembangunan," 1947, berusaha membersihkan  dirinja dengan bergajutan  pada R.A. Kartini jang terus menerus  dihormati,  baik  didjaman  pendjajahan  Belanda,  Djepang,  maupun  semasa Revolusi itu, pdhal, bukankah Kartini mengandjurkan kerdja sama antara Pribumi dengan Belanda?

Dan djustru gajutan ini mendjelaskan pada kita, bahwa Takdir tak banjak mengerti tentang perdjuangan kemerdekaan jang sedjak permulaan abad ini melulu kreteria dan taraf2nja.

Madjalah "Pembangunan" tidak pernah mempunjai otorita, sehingga suaranja pun padam tanpa meninggalkan gaung. Dan sedjak Kongres Filsafat tsb praktis ia semakin lama semakin dekat pada golongan ko, golongan penchianat semasa Revolusi itu, malah dimasa pemerintahan federal di Djakarta, perusahaannja mendapat kemadjuan tjepat dan melompat.

Revolusi jang digerakkan oleh Rakjat, oleh kenjataan jg hidup, mengakibatkan terdjadinja desilusi pdnja, karena Revolusi merupakan guru jang lebih baik bagi kehidupan ini daripada mahaguru jang manapun djuga. Takdir jang mempunjai gaja-penulisan jang polemis, tetap dapat mempertahan gajanja ini, hanja nadanja di masa Revolusi 45 dan sesudahnja terdengar mineur. Setelah pemulihan kedaulatan, ia njatakan desilusinja ini dlm artikel "Buku dan Ketjerdasan Rakjat dalam Bahaja" jang dimuat dlm madjalah "Siasat" IV/171/18 Djuni 1950. Diantaranja ia menulis:

 "...Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan rakjat 70 juta ini akan makanan, pakaian, dan perumahan. Sebab kemakmuran dalam arti jang sebenarnja pada hakekatnja ialah akibat sesuatu pertumbuhan sikap hidup, kegiatan dan kepandaian berusaha dari dalam rakjat sendiri, baik sebagai suatu satuan, maupun sebagai individu."

 Kutipan ini, jang merupakan pentjetakan atas pidatonja dalam malam pertemuan jang diselenggarakan oleh penerbit kebangsaan "Pustaka Rakjat" di Hotel des Indes memperlihatkan dengan djelas segi pemikiran Takdir jang tidak menguasai persoalan politik, (waktu itu RI baru 1/2 tahun berdaulat!) dan mentjoba menutupi kelemahannja dengan ekonomi sebagai seorang pengusaha jang sedang merasa terantjam perusahaannja karena kebidjaksanaan pembagian kertas jang pada waktu itu sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

Kesalahan politik nampak dari pandangannja jang tidak djelas terhadap Rakjat jang sepandjang abad merupakan unit ekonomi jang terus-menerus menghasilkan kemakmuran. Rakjatlah penghasil kemakmuran. Kemakmuran tidak datang dari sikap hidup jang manapun. Tapi apakah kemakmuran itu kembali lagi kepada Rakjat jang menghasilkannja, ini adalah politik bukan lagi ekonomi apa pula sikap hidup! Sedang sudah setjara apriori Takdir mengetok palu-hakimnja, bahwa Pemerintah sekarang tidak akan dapat sebenar2nja memenuhi kebutuhan Rakjat.

Sudah dari nadanja orang dapat dengarkan suatu sinisme jang lahir dari desilusi. Tapi desilusi ini tidak mampu mengadjari Takdir untuk mulai beladjar melihat dan memahami realita.

Bagi mereka jang menganggap sastra hanjalah sastra, tidak lebih dan tidak kurang, tentu akan bertanja: apakah hubungannja semua ini dengan sastra? Djawabnja atas pertanjaan ini adalah djawaban atas faktor2 kedjiwaan apakah jg menguasai seorang pengarang, serta bagaimana kondisi kedjiwaannja, karena sebuah pabrik jang didirikan dengan sjarat2 tertentu untuk menghasilkan tahu, tentulah ia djadi pabrik tahu, terketjualbila sjarat2 itu diubah, berubah, sehingga djadi pabrik bom. Itu pula pentingnja dimulai tradisi untuk menempatkan karja sastra sebagai bahan gubal, dan bukan mantra karena tindjauan dan penilaian teknik semata, untuk sampai pada wudjut sebagai manusia pengarang  dan  dengan  demikian  untuk  mendapatkan  faham  jang  lebih  tepat  tentang manusia Indonesia sebenarnja. Sedang saran ini sama sekali tidak menjalahi Takdir jang sendiri menghendaki dan mempraktekkan seni bertendens, artinja seni jang memikul tugas, paling sedikit tugas sosial.

Pada alinea lain kita dapatkan kutipan jang sebenarnja suatu kekatjauan jg telah mentjampuradukkan masalah kebudajaan dan perdagangan:

 "Apabila kami mengemukakan ini, hal itu bukan sekali2 untuk mengeluarkan kritik, bukan djuga oleh karena kami takut Pustaka Rakjat tidak akan dapat mendjalankan usahanja lagi. Kami hanja bermaksud sepintas lalu menundjukkan, bahwa buku dan bersama dengan itu ketjerdasan rakjat dalam bahasa."

Pendeknja, pandangan kultural Takdir setelah 1950, atau setelah kedaulatan tidak lagi ditangan Belanda setelah perusahaannja tidak mendapatkan pesanan2 langsung dari Departemen van Onderwijs [dan] Eredienst pemerintah Federal, merupakan kekatjauan jang tjampurbaur antara soal2 perdagangan dan ilusi2 kultural ini berkembang semakin menjata sampai pada th 1953 dalam simposion sastra Indonesia di Amsterdam.

Takdir sebagai budajawan, sudah sedjak mudanja menjindir, mengemplang dan mentjoba menggiling apa sadja jang serba tradisional terutama adat nenek mojangnja sendiri, tanpa keinginan ataupun kemauan baik untuk memahami latarbelakang dan fungsi historiknja.

Demikianlah, maka kondisi kedjiwaan setiap pengarang, dalam usaha mendapatkan pengertian jang sehat tentang sastra dari bangsa jang sedang membangun dan membentuk diri sebagai bangsa Indonesia dewasa ini sangat penting untuk ditelaah setjara terbuka.

Segi2 positif Takdir dalam perdjuangan kebudajaan di masa sebelum Perang Dunia II ternjata disusul dengan tjepatnja oleh perkembangan dari segi2nja jang negatif, hanja karena ia seorang idealis jang memunggungi kenjataan hidup sudah sedjak mulanja. Perkembangan ini semakin tragic sewaktu terdjadi apa jang lazim dinamai dengan "pergolakan daerah," suatu istilah jang sebenarnja berisikan motif2 politik jang sakitan. Dalam  persiapan2  untuk  meletuskan  "pergolakan  daerah,"  golongan2  anti-revolusionar jang djuga mendapat dukungan dari para sardjana idealis jang memunggungi kenjataan (misalnja pernjataan2 dukungan "dengan pertimbangan ilmiah" dari para mahaguru Universita Andalas pada PRRI) mentjoba menarik kekuatan dari dukungan golongan adat, seperti jang telah dilangsungkan Palembang pada bulan Djanuari 1957. Kongres Adat ini didalangi oleh Dewan Garuda jang menelorkan putusan2 jang oleh sementara pers jang masih dapat menghormati Revolusi, persatuan dan kesatuan nasional, diketjam sebagai bersifat feodal dan kontra-revolusionar. Bahkan persiapan mentjetuskan "pergolakan daerah" ini dirasa sebagai bahaja bagi negara Indonesia. Angkatan muda jang tergabung dalam puluhan organisasi setjara terburu2 menjiarkan siaran kilat berisikan 5 pasal jang berseru agar seluruh pemuda dan Rakjat tetap waspada dan tetap memelihara persatuan Bangsa  dan  Keutuhan  Negara.  Seruan  itu  ditudjukan  pada  semua  kekuatan  anti- separatisme dikalangan masarakat. Selandjutnja diharapkan kepada barisan pemuda agar tjukup bidjaksana, tjakep untuk mengatasi tiap2 politik adudomba jang bermaksud mentjegah persatuan. Dan ini adalah tindaklaku para pemuda. Sebaliknja golongan tua, termasuk Takdir dan Hazairin, sebagai tokoh2 penting dalam Kongres Adat Sumsel itu, telah menundjukkan bahwa kesardjanaan mereka ternjata tjuma keahlian teknis semata.


Para pemuda itu membuktikan pula, bahwa jg mula harus benar dan tepat adalah politik. Bila politiknja tidak benar, maka kesardjanaan hanja ketukangan jang tidak bertudjuan. Sebagai bukti ketukangan tanpa politik jang benar ini Takdir kemudian menerbitkan pidatonja dalam Kongres Adat Sumsel berdjudul Perdjuangan Untuk Otonomi dan Kedudukan Adat Didalamnja, (Pustaka Rakjat 1957). Dan risalah ini merupakan titik penghabisan bagi kegiatan  kebudajaan Takdir jang masimempunjai sumbangan  bagi kebudajaan  Indonesia.  Memang  setelah  itu  ia  masih  ikut  buka  mulut  dalam  diskusi "Batjaan  Tjabul"  OPI,  tapi  hal  itu  tidak  mampu  memperbaiki  posisinja  di  dalam pembicaran [?] kebudajaan apalagi sastra Indonesia.

Tokoh seangkatan Takdir jang djuga berkembang setjara tragik adalah Tatengkeng dari  Indonesia  Timur  jang  pada  tarafnjjang  terachir  menggabungkan  diri  dengan Permesta. Kedua2nja dapat disamakan dengan tokoh Gregori Melechov dalam roman Sjolokov And Quiet Flows the Don, seorang tokoh perang jang hebat dalam revolusi bolsjewik, jang karena tidak punja ketegasan dilapangan politik achirnja mondar mandir tidak karuan ke berbagai pihak, dan achirnja lenjap sebagai sampah.

Sampai di sini orang terpaksa mengingat doktrin jang dipegang oleh seniman2 dan budajawan2 jang tergabung dalam organisasi kebudajaan Lekra, jang mengadjarkan bahwa "politik adalah panglima." Pengalaman dari orang2 pintar tapi tragik itu membuktikan kebenaran dari doktrin Lekra tsb. Sampai di sini pula dapat ditentukan bahwa untuk menghindari terdjadinja ulangan2 tragedi jg sia2 didengar para budajawan2 dan seniman jang toh  diharapkan  sumbangannja  pada  nasion-building,  maka  ketidaktugasan  politik, jang menjebabkan timbulnja seni dan pemikiran gelandangan, harus disapu, harus dibabat. Tidak perlu diberikan luang seketjil2nja pun untuk membiarkan berkembang dan berlarut unsur2 penjakit ini, jang ternjata masih dapat mengembangkan sajapnja sampai dewasa ini, sebagaimana telah disinggung dalam Gedjala Sikisma dalam Perkembangan Tjerpen Dewasa Ini, jang telah dimuat dalam "Lentera" beberapa waktu jl.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar